Kode Etik
Seorang jurnalis harus memiliki pemahaman tentang kompetensi profesional dalam bekerja. Kompetensi profesional yang paling utama harus dipahami oleh jurnalis adalah mengenai makna tentang kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik memiliki fungsi yang sangat penting dalam pembuatan berita yang kredibel.
Mengenal Kode Etik Jurnalistik
Kode etik jurnalistik merupakan nilai dasar dalam bidang jurnalistik yang wajib diterapkan oleh junalis untuk memproduksi berita. Kode etik tersebut merupakan etika profesi jurnalistik yang telah ditetapkan oleh dewan pers. Dengan demikian, kode etik jurnalistik berlaku untuk berita dalam media cetak, media elektronik, dan media online.
Sejarah Kode Etik Jurnalistik
Kode etik jurnalistik di Indonesia baru lahir pada tahun 1947, lahirnya kode etik ini diketuai oleh seorang wartawan Bernama Tasrif. Isi dari kode etik ini pada saat itu merupakan terjemahan dari Canon of Journalism yang merupakan kode etik jurnalistik dari wartawan Amerika. Kemudian pada tahun 1968, dewan pers mengeluarkan keputusan No. 09/1968 tentang kode etik jurnalistik berdasarkan hasil rumusan “panitia tujuh”.
Pada tahun 1969, pemerintah menetapkan peraturan Menteri Penerangan No.02/Pers/MENPEN/1969 yang menegaskan seluruh wartawan wajib menjadi organisasi wartawan yang disahkan oleh pemerintah. Lahirnya Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers telah memberikan kebebasan wartawan dalam memilih organisasi wartawan, sehingga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bukan hanya satu-satunya organisasi wartawan.
Kemudian pada tahun 2000 tepatnya tanggal 29 Juni, Kode Etik Wartawan Indonesia disahkan oleh Dewan Pers. Pada tahun 20006, dewan pers kemudian kembali melahirkan kode etik jurnalistik. Kode etik tersebut ditetapkan oleh Keputusan Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 dan diperkuat oleh Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008.
Fungsi Kode Etik Jurnalistik
Kode etik ini berfungsi untuk menjaga standar kualitas jurnalis dalam melakukan pekerjaannya secara profesional dan berita yang dirilis dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, kode etik ini juga dibuat untuk melindungi publik dari kemungkinan terjadinya hal negatif dari berita yang dirilis. Dengan adanya kode etik, diharapkan masyarakat dapat terlindungi dengan baik dan merasa aman karena hak mereka terlindungi.
Terdapat tiga dasar utama kode etik jurnalistik yang saat ini digunakan oleh jurnalis di Indonesia. Adapun diantaranya pertama, kesepakatan 29 organisasi pers seluruh Indonesia di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2006. Kedua, Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008. Ketiga, Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.
1. Bersikap Independen
Sikap independen seorang jurnalis adalah menghasilkan berita dengan suara hati nurani tanpa adanya intervensi, campur tangan, dan paksaan dari pihak lain. Dengan demikian maka jurnalis dapat memberitakan peristiwa sesuai dengan fakta yang akurat, berimbang, dan tidak adanya itikad buruk.
2. Menempuh Cara yang Profesional
Profesional kerja jurnalis dalam bekerja adalah dengan menghormati hak privasi, tidak menyuap narasumber untuk memberikan informasi, menunjukkan identitas diri kepada narasumber. Hal tersebut dilakukan untuk menghasilkan berita yang faktual dengan sumber yang jelas.
Selain itu, jurnalis juga harus menghormati pengalaman traumatic naras umber dalam penyajian berita terkait gambar, foto, ataupun suara. Berita yang dihasilkan tidak boleh plagiat atau mengakui karya orang lain menjadi karya sendiri. Jurnalis juga harus dapat mempertimbangkan bagaimana peliputan berita investigasi dapat menjawab kepentingan publik.
4. Tidak Membuat Berita Bohong
Berdasarkan dengan tugasnya, seorang wartawan harus memberikan informasi sesuai dengan fakta. Sehingga berita yang diberikan ke publik dapat dipertanggungjawabkan.
5. Tidak Menyebutkan dan Menyiarkan Identitas Korban Kejahatan
Seorang jurnalis tidak boleh menyebarkan identitas seluruh korban dari kejahatan susila. Jika disebarkan, maka hal tersebut akan mempermudah orang lain untuk melacak korban.
6. Tidak Menyalahgunakan Profesi
Jurnalis memiliki hak total untuk melindungi narasumber yang diwawancarai. Hal tersebut sebagai bentuk menghormati ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan. Selain itu, bentuk segala suap merupakan bentuk penyalahgunaan profesi.
7. Memiliki Hak Tolak Untuk Melindungi Narasumber
Jurnalis memiliki hak untuk menolak mengungkapkan identitas dan dimana narasumber berada. Hal ini guna keamanan narasumber beserta degan keluarganya. Informasi yang diberikan ke publik dapat disiarkan tanpa menyebutkan segala informasi narasumbernya sesuai dengan kesepakatan.
8. Tidak Menulis Atau Menyiarkan Berita Berdasarkan Prasangka
Segala bentuk prasangka atau diskriminasi tidak boleh disiarkan ke publik. Hal tersebut merupakan anggapan yang kurang baik dan jika disiarkan akan membuat beberapa pihak mengikuti hal buruk tersebut.
9. Menghormati Hak Narasumber
Menghormati narasumber merupakan kewajiban bagi seorang jurnalis. Kehidupan pribadi narasumber dan keluarganya bukan merupakan konsumsi atau kepentingan bagi publik.
Jurnalis memiliki hak total untuk melindungi narasumber yang diwawancarai. Hal tersebut sebagai bentuk menghormati ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan. Selain itu, bentuk segala suap merupakan bentuk penyalahgunaan profesi.
10. Mencabut, Meralat, dan Memperbaiki Berita yang Keliru
Segala bentuk berita yang keliru merupakan tanggungjawab dari jurnalis. Maka, jurnalis memiliki hak untuk segera mencabut atau memperbaiki berita yang keliru atau tidak akurat dengan disertai permintaan maaf terhadap audiens.
Kode etik jurnalistik merupakan landasan moral jurnalis untuk membuat berita yang dapat dipertanggungjawabkan yang didasarkan atas bagaimana pers menghormati seluruh hak asasi setiap orang tanpa memandang siapa mereka. (*)

